█
Rabu, 10 Februari 2016
Orang China Adalah Saudara Orang Indonesia
Vihara Dewi Welas Asih, Cirebon |
Anda ingin mengenal orang China lebih jauh?... Berikut wawancara Ketua Lembaga Sejarah Arsitektur Indonesia bp. Sutrisno Murtiyoso yang menjelaskan, bahwasanya orang-orang yang saat ini disebut sebagai orang Indonesia menurut penelusuran sejarah, adalah, mereka yang memiliki keturunan orang Austronesia di China.
Menurut catatan Dagh-Register gehouden int Casteel Batavia, pada tahun 1681 Kesultanan Cirebon telah mengutus 7 orang bangsawan dengan julukan Jaksa Pepitu menuju ke Batavia guna meminta bantuan perlindungan dikarenakan hendak diserbu oleh kerajaan Mataram kala itu.
5 orang dari 7 Jaksa Pepitu, antaranya orang China. Benarkah demikian? ...
Inilah laporan lengkapnya.
BENARKAH “orang Indonesia asli” ialah mereka yang benar-benar masyarakat Indonesia? Atau benarkah yang diklaim sebagai “orang China” adalah sebenar-benarnya orang China? Bagaimana jika fakta tersebut ternyata berkebalikan?
Dari sejumlah bukti peninggalan masa lampau yang berhasil dihimpun dari berbagai sumber, sejarah tentang orang Indonesia dan China ternyata memiliki keterkaitan yang sangat erat sejak ribuan tahun yang lalu. Orang-orang dari daratan China berpetualang hingga keseluruh dunia, hingga akhirnya tiba di Nusantara sejak 3 ribu tahun lalu.
Bahkan, orang yang kini di sebut sebagai orang Indonesia adalah mereka yang benar-benar memiliki keturunan orang-orang Austronesia di China.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Lembaga Sejarah Arsitektur Indonesia Sutrisno Murtiyoso saat dijumpai di kediamannya di Bandung. Telah di peroleh bukti-bukti penelusuran dari penelitian yang di kumpulkan seperti dokumentasi di seluru kelenteng di wilayah Jawa dan Bali.
Dalam penjabaran Sutrisno, orang Austronesia di China disebutkan bahwa, masyarakat yang menyerupai masyarakat Flores, Batak, Dayak yang artinya bukan seperti termasuk seperti mereka yang berkulit kuning dan bermata sipit. Mereka berkulit cokelat dan bermata bulat.
Dalam suatu teori yang ada, Sutrisno menyampaikan bahwa ketika 10 ribu tahun yang lalu, es dibumi mencair dan permukaan air naik, penduduk Nusantara ini hijrah ke utara, yaitu ke China.
Ketika kehidupan di utara sudah mampu untuk bercocok tanam, mereka kembali ke nusantara lagi.
Hal ini sejalan menurut teori yang menyebutkan bahwasanya, Taiwan adalah merupakan asal muasal persebaran penduduk Austronesia. Dari Taiwan, mereka melalui Filipina, kemudian ke Selat Makassar.
Kemudian terbagi lagi menjadi dua golongan: ke barat hingga mencapai pulau-pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, dan Semenanjung. Yang ke timur terbagi menjadi dua lagi, yaitu menyusuri pulau Halmahera dan Laut Flores.
Penduduk Austronesia masih ada di China hingga hari ini, namun, mereka menjadi penduduk minoritas.
ORANG HAN
Pada masa sebelumnya atau 300 SM di China pada masa kekaisaran Dinasti Zhou (周), telah mengenal cengkih dan kala itu, hanyalah Maluku penghasil cengkeh di bumi ini. Pada zaman yang sama juga, orang-orang Romawi juga telah mengenal cengkih dan pala.
Dan jelas tidak mungkin orang Romawi datang ke Maluku, akan tetapi melalui jalur perdagangan yang saat itu di dominasi oleh orang dari China hingga akhirnya sampailah pada orang-orang Romawi.
Kurang lebih 1000 tahun lalu, sudah terjalin hubungan mutualisme antara orang Han dengan orang-orang di bumi Nusantara. Suku Han yang di China Utara inilah yang, sesungguhnya disebut orang China asli.
Kedatangan mereka mulai banyak pada zaman kerajaan Majapahit. Pada abad ke-13, hukum di Jawa menegaskan bahwa orang asing boleh menikahi dengan perempuan Jawa, tapi anak jadi milik ibu, tak pernah bisa menjadi milik bapaknya.
Pada saat itu tenaga manusia beserta angka penduduk adalah hal utama, dan penguasa saat itu, memahami akan faktor ini. Akibatnya, hingga abad 17 secara legal tidak ada orang China di pulau Jawa dikarenakan anak-anak dari keturunan China tadi, menjadi milik ibu dan otomatis menjadi orang Jawa semua.
Bukti catatan Dagh-Register gehouden int Casteel Batavia adalah salah satu dari sekian bukti yang memperkuat fakta ini. Pada tahun 1681, Kesultanan Cirebon telah berhasil membuat kesepakatan perjanjian dengan Batavia guna meminta suaka/perlindungan dari serangan kerajaan Mataram. Mereka lari ke Batavia karena dianggap lebih bersaabat dan aman.
Tujuh pejabat Jaksa Pepitu, semacam Dewan Penasihat utusan ini melakukan penandatanganan perjanjian kesepaatan dan sampai sekarang, arsip tersebut masih tersimpan di Arsip Nasional.
Ketujuh orang tersebut juga tercatat oleh penjaga kastil Batavia, dan dilaporkan ada tujuh orang dari Cirebon, 5 di antaranya orang China. Padahal dari nama-nama mereka, tidak tertulis nama China di dalam catatan, kesemuanya menggunakan nama bangsawan. Penjaga itu menuliskan "orang china" hanya karena wajahnya.
Lantas dari manaasalnya ada orang China memiliki gelar bangsawan?...
Anak yang berbapak China dan beribu Jawa, banyak yang belajar berdagang dari bapaknya, sehingga kecakapan mereka dalam berhitung melebihi orang biasa. Kemudian, sultan Cirebon memilih dan merekrut orang-orang yang memiliki kemampuan demikian untuk mengabdi kepada kasultanan Cirebon dan dari sanalah mereka mendapatkan nama bangsawan.
Jan Pieterszoon Coen |
Jan Pieterszoon Coen tidak mau memakai orang Banten dan Mataram, karena dia sudah lagi tidak percaya.
Jan Pieterszoon Coen, yang pernah menempati Taiwan, saat Taiwan dikuasai VOC, kemudian mengambil orang-orang Taiwan yang tabiatnya sudah sangat dia kenal baik. Banyak orang dari Hokkian (sekarang Provinsi Fujian) dan di wilayah selatan pesisir yang berhadap-hadapan dengan Taiwan dan mereka ini bukanlah pedagang seperti pada umumnya. Mereka terdiri dari para tukang kayu, tukang batu, dan buruh kasar yang keahliannya amat sangat dibutuhkan dalam pembangunan sebuah kota.
Orang-orang Hokkian sudah datang ke bumi nusantara sejak abad ke-17 sampai dengan akhir ke-19.
Karena itu, mayoritas orang China di Indonesia adalah dari suku Hokkian.
Istilah penyebutan Sincia (tahun baru) dilarang Orde Baru, maka di ganti dengan istilah Imlek (tarikh bulan) yang diambil dari dialek Hokkian. Istilah resminya, Yinli, semakin ditinggalkan.
Kata Tiongkok dan Tionghoa-pun berasal dari dialek Hokkian, padahal sebutan resmi yang diterima seluruh suku di China dan tidak mengandung pretensi apa-apa adalah Cungkuo (中國).
Sumber
Artikel ini diposkan oleh: Ali Hasan Efendi
Pasal 28C (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. (2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.FACEBOOK